Merinding!!, Kisah Nyata Marbot Masjid Atta’awun
Cisarua Puncak Bogor
Cerita ini nyata yang mengisahkan dua
sahabat yg terpisah cukup lama; Ahmad dan Zaenal. Ahmad ini pintar sekali. Cerdas. Tapi dikisahkan kurang
beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zaenal adalah sahabat yg biasa2 saja. Namun
keadaan orang tuanya mendukung karir dan masa depan Zaenal.
Setelah terpisah cukup lama, keduanya
bertemu. Bertemu di tempat yg istimewa; di koridor wudhu, koridor toilet sebuah
masjid megah dengan arsitektur yg cantik, yg memiliki view pegunungan dengan
kebun teh yg terhampar hijau di bawahnya. Mesjid tersebut adalah mesjid
At-Ta’awun yang berada di puncak Bogor.
Adalah Zaenal, sudah menjelma menjadi
seorang manager kelas menengah. Necis. Parlente. Tapi tetap menjaga
kesalehannya.
Ia punya kebiasaan. Setiap keluar kota,
ia sempatkan singgah di masjid di kota yg ia singgahi. Untuk memperbaharui
wudhu, dan sujud syukur. Syukur-syukur masih dapat waktu yg diperbolehkan
shalat sunnah, maka ia shalat sunnah juga sebagai tambahan.
Seperti biasa, ia tiba di Puncak Pas,
Bogor. Ia mencari masjid. Ia pinggirkan mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid
yg ia temukan.
Di sanalah ia menemukan Ahmad. Cukup
terperangah Zaenal ini. Ia tahu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga tak
punya, tapi pintarnya minta ampun.
Zaenal tidak menyangka bila berpuluh
tahun kemudian ia menemukan Ahmad sebagai merbot masjid..!
“Maaf,” katanya menegor sang merbot.
“Kamu Ahmad kan? Ahmad kawan SMP saya dulu?”.
Yang ditegor tidak kalah mengenali. Lalu
keduanya berpelukan, Ahmad berucap
“Keren sekali Kamu ya Mas… Manteb…”. Zaenal terlihat masih dlm keadaan memakai
dasi. Lengan yg digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermerknya
terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”.
Zaenal menaruh iba. Ahmad dilihatnya
sedang memegang kain pel. Khas merbot sekali. Celana digulung, dan peci
didongakkan sehingga jidatnya yg lebar terlihat jelas.
“Mad… Ini kartu nama saya…”.
Ahmad melihat. “Manager Area…”. Wuah,
bener-bener keren.”
“Mad, nanti habis saya shalat, kita
ngobrol ya. Maaf, kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih
baik dari sekedar merbot di masjid ini. Maaf…”.
Ahmad tersenyum. Ia mengangguk. “Terima
kasih ya… Nanti kita ngobrol. Selesaikan saja dulu shalatnya. Saya pun
menyelesaikan pekerjaan bersih2 dulu… Silahkan ya. Yang nyaman”.
Sambil wudhu, Zaenal tidak habis pikir.
Mengapa Ahmad yg pintar, kemudian harus terlempar darik kehidupan normal. Ya,
meskipun tidak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai merbot, tapi merbot… ah,
pikirannya tidak mampu membenarkan.
Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yg tidak berpihak kepada orang-orang
yang sebenarnya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.
Air wudhu membasahi wajahnya…
Sekali lagi Zaenal melewati Ahmad yang
sedang bersih-bersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaannya ini di
perkantoran, maka sebutannya bukan merbot. Melainkan “office boy”.
Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang
Zaenal. Sama-sama shalat sunnah sepertinya.
Setelah menyelesaikan shalatnya Zaenal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya
Ahmad…”, gumamnya.
Zaenal menyelesaikan doanya secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan
Ahmad.
“Pak,” tiba2 anak muda yg shalat di
belakangnya menegur.
“Iya Mas..?”
“Pak, Bapak kenal emangnya sama bapak
Insinyur Haji Ahmad…?”
“Insinyur Haji Ahmad…?”
“Ya, insinyur Haji Ahmad…”
“Insinyur Haji Ahmad yang mana…?”
“Itu, yang barusan ngobrol sama Bapak…”
“Oh… Ahmad… Iya. Kenal. Kawan saya dulu
di SMP. Emangnya udah haji dia?”
“Dari dulu udah haji Pak. Dari sebelum
beliau bangun ini masjid…”.
Kalimat itu begitu datar. Tapi cukup
menampar hatinya Zaenal… Dari dulu sudah haji… Dari sebelum beliau bangun
masjid ini…
Anak muda ini kemudian menambahkan,
“Beliau orang hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah yg merbot asli masjid ini. Saya
karyawannya beliau. Beliau yang bangun masjid ini Pak. Di atas tanah wakafnya
sendiri. Beliau biayai sendiri pembangunan masjid indah ini, sebagai masjid
transit mereka yg mau shalat. Bapak lihat hotel indah di sebelah sana? … Itu
semua milik beliau… Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini.
Bahkan salah satu kesukaannya, aneh. Yaitu senangnya menggantikan posisi saya.
Karena suara saya bagus, kadang saya disuruh mengaji saja dan azan…”.
Zaenal tertegun, entah apa yang ada di
hati dan di pikiran Zaenal saat itu
*****
Ada pelajaran dari kisah pertemuan Zaenal dan Ahmad. Jika Ahmad itu adalah
kita, mungkin begitu bertemu kawan lama yang sedang melihat kita membersihkan
toilet, segera kita beritahu posisi kita yang sebenarnya.
Dan jika kemudian kawan lama kita ini
menyangka kita merbot masjid, maka kita akan menyangkal dan kemudian
menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah kawan kita bahwa
kita inilah pewakaf dan yang membangun masjid ini.
Tapi kita bukan Haji Ahmad. Dan Haji
Ahmad bukannya kita. Semoga ia selamat dari rusaknya nilai amal, sebab ia tetap
tenang dan tidak risih dengan penilaian manusia. Haji Ahmad merasa tidak perlu
menjelaskan apa-apa. Dan kemudian Allah yg memberitahu siapa dia sebenarnya…
“Al mukhlishu, man yaktumu hasanaatihi
kamaa yaktumu sayyi-aatihi” Orang yang ikhlas itu adalah orang yang
menyembunyikan kebaikan-kebaikannya, seperti ia menyembunyikan
keburukan-keburukan dirinya.[Ya’qub YahimaHullah, dalam kitab Tazkiyatun Nafs]
sumber: fb Farisi Rakhman
“Keren sekali Kamu ya Mas… Manteb…”. Zaenal terlihat masih dlm keadaan memakai dasi. Lengan yg digulungnya untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam bermerknya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”.
Zaenal menyesalkan kondisi negerinya ini yg tidak berpihak kepada orang-orang yang sebenarnya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.
Setelah menyelesaikan shalatnya Zaenal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya Ahmad…”, gumamnya.
Zaenal menyelesaikan doanya secara singkat. Ia ingin segera bicara dengan Ahmad.
Ada pelajaran dari kisah pertemuan Zaenal dan Ahmad. Jika Ahmad itu adalah kita, mungkin begitu bertemu kawan lama yang sedang melihat kita membersihkan toilet, segera kita beritahu posisi kita yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment